Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb,
Ustadz, kenapa wanita yang sedang haid diharamkan untuk berpuasa, padahalkan dalam berpuasa seseorang tidak disyaratkan untuk suci dari hadats dan najis, bahkan seorang yang junub dan belum sempat mandi wajib pun boleh berpuasa? 
Mohon penjelasannya ustadz.
Hamba Allah.
Kenapa puasa haram bagi wanita haid?

Jawab:
Wa’alaikumsalam wr. wb,
Sebelumnya, sebagai seorang mukmin tentu kita harus tunduk dan patuh melaksanakan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya, baik kita tahu hikmah atau manfaat dari perintah dan larangan itu ataupun tidak tahu, sebagaimana yang ditegaskan dalam al-Qur`an:
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّـهِ وَرَ‌سُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Artinya: Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. Al-Nur [24]: 51).
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّـهُ وَرَ‌سُولُهُ أَمْرً‌ا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَ‌ةُ مِنْ أَمْرِ‌هِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّـهَ وَرَ‌سُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab [33]: 36).
Hal itu, karena kita yakin seyakin-yakinnya bahwa Allah ta’ala Yang Maha Bijaksana dan Maha Pengasih terhadap hamba-Nya tidak akan memerintahkan sesuatu kecuali ada manfaat di dalamnya, dan tidak akan melarang sesuatu kecuali karena ada mudharat dan bahaya di dalamnya bagi para hamba-Nya.
Imam Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat menegaskan bahwa sesungguhnya syari’at itu disyariatkan demi untuk kemaslahatan manusia, di mana semua taklif (perintah dan larangan) adalah untuk menghindari mafsadah (kerusakan), untuk mendapatkan maslahat (kemaslahatan) atau untuk mendapatkan kedua-duanya.
Ibnu Katsir dalam kitabnya al-Bidayah wa al-Nihayah menjelaskan bahwa syari’at Muhammad itu adalah syari’at yang paling sempurna, di mana tidak ada suatu kebaikan pun yang diketahui akal manusia sebagai kebaikan kecuali diperintahkannya, dan tidak ada kemunkaran yang diketahui akan manusia sebagai kemunkaran kecuali dilarangnya. Ia tidak memerintahkan sesuatu, kemudian dikatakan, ‘Seandainya ia tidak memerintahkan hal itu’, dan ia tidak melarang sesuatu kemudian dikatakan ‘Seandainya ia tidak melarang hal itu’.
Pengetahuan akal kita yang terbatas terkadang dapat mengetahui hikmah dari perintah dan larangan Allah Subhanallahu ta’ala dan Rasul-Nya itu, namun terkadang tidak dapat mengetahui hikmah dari perintah dan larangan tersebut.
Adapun tentang keharaman berpuasa bagi wanita haid, ini merupakan ijma’ ulama berdasarkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ مُعَاذَةَ ، قَالَتْ : سَأَلْتُ عَائِشَةَ ، فَقُلْتُ : مَا بَالُ الْحَائِضِ ، تَقْضِي الصَّوْمَ ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ ؟ فَقَالَتْ : أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ ؟ قُلْتُ : لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ ، قَالَتْ : كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ
Dari Mu’adzah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah, seraya berkata, “Kenapa wanita yang haid hanya mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalat?’ Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim).
Juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, yang diantaranya berbunyi:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ ؟ قُلْنَ : بَلَى ، قَالَ : فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
Bukankah jika dia (wanita) itu haid, ia tidak sholat dan tidak puasa ? Mereka berkata ; benar . Beliau bersabda: “Demikianlah yang menunjukkan kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’nya menjelaskan bahwa umat sepakat (ijma’) dalam mengharamkan puasa bagi wanita yang sedang haid dan nifas, dan puasa mereka itu tidak sah, dan umat juga sepakat bahwa mereka wajib mengqadha puasa Ramadhan itu. Ijma’ ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi, Ibnu al-Mundzir, Ibnu Jarir, ulama mazhab kami (Syafi’i) dan yang lain.
Ibnu Qidamah dalam kitabnya al-Mughni juga menyebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa wanita haid dan nifas dilarang untuk berpuasa, mereka harus berbuka dan mengqadhanya, dan jika keduanya berpuasa maka puasanya tidak sah.
Sedangkan mengenai hikmah dari pengharaman puasa bagi wanita haid ini, maka sebagian ulama mengatakan bahwa hikmahnya tidak kita ketahui, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam al-Juwaini atau yang lebih dikenal dengan Imam al-Haramain, “Dan puasa itu tidak sah dari orang haid tidak diketahui maknanya karena thaharah bukan merupakan syarat dalam berpuasa”.
Sedangkan sebagian ulama yang lain, seperti Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa hikmah dari dilarangnya wanita haid untuk berpuasa adalah sebagai bentuk kasih sayang Allah Subhanallahu ta’ala kepada wanita karena keluarnya darah disebabkan haid itu akan melemahkan wanita, dan jika diperintahkan lagi bagi mereka untuk berpuasa maka itu akan itu akan lebih melemahkan mereka.
Wallahu a’lam bish shawab..

Sumber http://aqlislamiccenter.com