Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga) Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain.
Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Bupati Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang.
Ia terkenal sebagai seorang bupati yang kaya raya.
Disamping sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang.
Nah, karena mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar setiap pagi.
Ia pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya.
Ia berdagang emas, intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing.
Kekayaannya pada saat itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa kuatnya.
Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat di tingkat pusat sekalipun.
Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.
Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan.
Pada jaman sekarang bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa.
Nah, karena kuda dan sapinya banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk santapan kuda dan sapinya.
Suatu ketika di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput agak terlambat menyediakan santapan kudanya.
Nah, pada saat itu datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya.
Umumnya pada waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng.
Tapi ia menawarnya dengan harga lima belas ketheng.
Anehnya tanpa berbelit-belit penjual rumput itu memberikannya begitu saja.
Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi.
Kali ini ia datang lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin.
Bertanya Ki Pandhanarang,"Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini.
Darimana kau memperolehnya?".
"Dari Gunung Jabalkat, Tuan", jawab si penjual rumput.
Ki Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang sangat jauh sekali.
Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin orang itu tidak segera beranjak pergi.
"Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?".
"Hamba ingin minta sedekah Tuan". Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi.
Tapi si penjual rumput buru-buru maju menghadang.
"Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang".
Ki Pandhanarang mendelik penasaran.
Minta bedhug berbunyi di Semarang?
Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama Islam di Semarang.
Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya.
"Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua.
Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini".
"Hamba tidak butuh uang.
Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?".
Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah.
"Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta.
Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang".
Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,"Hamba kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!".
"Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?".
"Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang diberikan Tuhan.
Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah".
"huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua!
Coba buktikan omong besarmu itu!
Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman seberat-beratnya!"
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput.
"Hayo! Buktikan ucapanmu!"
Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul.
Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata.
Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu.
Ki Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi.
Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput.
Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu.
"Buat apa kau menyusulku?
Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?" tegur si penual rumput itu.
"Bukan, bukan untuk itu saya kemari".
"Lalu apa maumu?".
"Saya ingin berguru kepada Tuan".
"Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?".
"Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang".
"Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?".
"Benar Tuan!".
"Berkorban dengan segala harta dan jiwa?".
"Saya bersedia".
"Kalau begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya.
Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah.
Orang berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat".
"Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?".
"Aku adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati".
Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya.
Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total.
Dulu pelit sekarang menjadi dermawan sekali.
Suka bersedekah.
Ia juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang.
Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai bedhug.
Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan.
Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin.
Semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah.
Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya terkenal.
Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat.
Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya.
"Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta.
Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita". Keduanya lalu berpakaian serba putih.
Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat.
Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja.
Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok.
Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan.
Tiga perampok itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang.
Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu.
Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan.
"Kakangmas! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah".
Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.
Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya.
Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata.
"Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku.
Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita.
Sekarang kau berjalanlah di muka". Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka.
Tidak berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan.
"Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?", demikian ancam Ki Sambangdalan.
"Aku tidak membawa harta!" jawab Ki Pandhanarang.
Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa.
"Dimana kau sembunyikan hartamu?" hardik Ki Sambangdalan.
"Aku tidak membawa harta!", jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah.
Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja korbannya berjalan.
Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli Ki Pandhanarang. Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan.
Maka ia berkata,"Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!" Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau kambing.
Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi.
Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai.
Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia.
"Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??".
"Itu karena kesalahanmu sendiri", ujar Ki Pandhanarang.
"Kembalikan ujud kepalaku seperti semula", pinta Ki Sambangdalan.
Ki Pandhanarang tidak menjawab.
Ki Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi.
Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat.
Tapi pada saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah.
Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat.
Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis.
Tapi karena ingin kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu.
Mereka bertiga segera duduk bersimpuh.
Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud semula.
Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya.
Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat.
Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo.
Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat kue srabi.
Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar.
Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi, karena laris kayunya habis.
Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli.
"Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?", hardik si majikan.
Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api.
Gemparlah hari itu.
Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api.
Dan banyak pula orang yang membeli kue srabi.
Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.
Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.
Bupati Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang.
Ia terkenal sebagai seorang bupati yang kaya raya.
Disamping sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang.
Nah, karena mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar setiap pagi.
Ia pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya.
Ia berdagang emas, intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing.
Kekayaannya pada saat itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa kuatnya.
Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat di tingkat pusat sekalipun.
Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.
Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan.
Pada jaman sekarang bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa.
Nah, karena kuda dan sapinya banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk santapan kuda dan sapinya.
Suatu ketika di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput agak terlambat menyediakan santapan kudanya.
Nah, pada saat itu datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya.
Umumnya pada waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng.
Tapi ia menawarnya dengan harga lima belas ketheng.
Anehnya tanpa berbelit-belit penjual rumput itu memberikannya begitu saja.
Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi.
Kali ini ia datang lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin.
Bertanya Ki Pandhanarang,"Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini.
Darimana kau memperolehnya?".
"Dari Gunung Jabalkat, Tuan", jawab si penjual rumput.
Ki Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang sangat jauh sekali.
Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin orang itu tidak segera beranjak pergi.
"Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?".
"Hamba ingin minta sedekah Tuan". Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi.
Tapi si penjual rumput buru-buru maju menghadang.
"Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang".
Ki Pandhanarang mendelik penasaran.
Minta bedhug berbunyi di Semarang?
Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama Islam di Semarang.
Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya.
"Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua.
Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini".
"Hamba tidak butuh uang.
Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?".
Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah.
"Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta.
Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang".
Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,"Hamba kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!".
"Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?".
"Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang diberikan Tuhan.
Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah".
"huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua!
Coba buktikan omong besarmu itu!
Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman seberat-beratnya!"
Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput.
"Hayo! Buktikan ucapanmu!"
Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul.
Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata.
Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu.
Ki Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi.
Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi.
Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput.
Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu.
"Buat apa kau menyusulku?
Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?" tegur si penual rumput itu.
"Bukan, bukan untuk itu saya kemari".
"Lalu apa maumu?".
"Saya ingin berguru kepada Tuan".
"Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?".
"Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang".
"Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?".
"Benar Tuan!".
"Berkorban dengan segala harta dan jiwa?".
"Saya bersedia".
"Kalau begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya.
Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah.
"Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?".
"Aku adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati".
Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya.
Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total.
Dulu pelit sekarang menjadi dermawan sekali.
Suka bersedekah.
Ia juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang.
Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai bedhug.
Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan.
Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin.
Semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah.
Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya terkenal.
Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat.
Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya.
"Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta.
Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita". Keduanya lalu berpakaian serba putih.
Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat.
Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.
Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja.
Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok.
Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan.
Tiga perampok itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang.
Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu.
Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan.
"Kakangmas! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah".
Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.
Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya.
Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata.
"Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku.
Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita.
Sekarang kau berjalanlah di muka". Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka.
Tidak berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan.
"Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?", demikian ancam Ki Sambangdalan.
"Aku tidak membawa harta!" jawab Ki Pandhanarang.
Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa.
"Dimana kau sembunyikan hartamu?" hardik Ki Sambangdalan.
"Aku tidak membawa harta!", jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah.
Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja korbannya berjalan.
Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli Ki Pandhanarang. Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan.
Maka ia berkata,"Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!" Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau kambing.
Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi.
Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai.
Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia.
"Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??".
"Itu karena kesalahanmu sendiri", ujar Ki Pandhanarang.
"Kembalikan ujud kepalaku seperti semula", pinta Ki Sambangdalan.
Ki Pandhanarang tidak menjawab.
Ki Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi.
Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat.
Tapi pada saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah.
Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat.
Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis.
Tapi karena ingin kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.
Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu.
Mereka bertiga segera duduk bersimpuh.
Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud semula.
Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar Guru se-Tanah Jawa.
Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya.
Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat.
Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.
Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo.
Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat kue srabi.
Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar.
Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi, karena laris kayunya habis.
Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli.
"Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?", hardik si majikan.
Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api.
Gemparlah hari itu.
Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api.
Dan banyak pula orang yang membeli kue srabi.
Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.