-->

Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf?

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr. wb.
sekarang bulan Ramadhan akan memasuki fase sepertiga terakhirnya yaitu sepuluh hari terakhir Ramadhan, dan yang saya ketahui umat Islam sangat dianjurkan untuk melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan ini.

Yang ingin saya tanyakan bagaimanakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan i’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan itu?

Hamba Allah.
Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf
Jawaban:
Wa’alaikumsalam wr. wb.

Betapa butuhnya kita sebagai seorang hamba Allah ta’ala untuk menyendiri di tengah kehidupan yang penuh dengan segala macam tekanan, kekhwatiran dan cobaan ini agar bisa memfokuskan jiwa dan pikiran untuk bermuhasabah diri sehingga kita bisa memperbaiki diri dan merenungi segala bentuk nikmat dan rahmat Allah kepada kita sehingga kita banyak dan sungguh-sungguh bersyukur kepada Sang Pemberi nikmat.

Dan betapa butuhnya kita untuk kembali ke dalam suasana penuh keimanan dalam bentuk beri’tikaf di masjid Allah ‘Azza wa Jalla bukan karena ingin lari dari permasalahan hidup tapi untuk memperbaharui kekuatan jiwa, keyakinan dan keimanannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Alangkah indahnya jika i’tikaf itu kita lakukan di bulan penuh keberkahan ini dalam suasana penuh keimanan dan lingkungan yang dipenuhi dengan segala bentuk ketaatan, di mana umat Islam di bulan ini berlomba-lomba dalam segala bentuk amal kebaikan dari berzikir, tilawah al-Qur`an, sholat dan sedekah.

Dalam suasana dan lingkungan seperti itu kita menyendiri mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dengan harapan kita dapat merasakan kebahagian dan manisnya beribadah kepada-Nya yang sangat sulit kita dapatkan di tengah kesibukan hidup kita yang selalu dipenuhi oleh tuntutan materi dan kesenangan duniawi.

Dan tauladan kita dalam hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu beri’tikaf di bulan penuh berkah ini, dimana pada awalnya beliau beri’tikaf di sepuluh awal Ramadhan, lalu di sepuluh pertengahannya hingga akhirnya beliau diberitahu bahwa lailatul qadar itu ada di sepuluh terakhir Ramadhan maka setelah itu beliau selalu dan tidak pernah meninggalkannya sampai beliau dipanggil menghadap Sang Khalik.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الخُدْرِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: اعْتَكَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ الْأُوَلِ مِنْ رَمَضَانَ وَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ ، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ ، فَقَالَ : إِنَّ الَّذِي تَطْلُبُ أَمَامَكَ فَاعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فَاعْتَكَفْنَا مَعَهُ ، فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ ، فَقَالَ : إِنَّ الَّذِي تَطْلُبُ أَمَامَكَ ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطِيبًا صَبِيحَةَ عِشْرِينَ مِنْ رَمَضَانَ ، فَقَالَ : مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْيَرْجِعْ فَإِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ وَإِنِّي نُسِّيتُهَا وَإِنَّهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي وِتْرٍ ، وَإِنِّي رَأَيْتُ كَأَنِّي أَسْجُدُ فِي طِينٍ وَمَاءٍ وَكَانَ سَقْفُ الْمَسْجِدِ جَرِيدَ النَّخْلِ وَمَا نَرَى فِي السَّمَاءِ شَيْئًا ، فَجَاءَتْ قَزْعَةٌ فَأُمْطِرْنَا فَصَلَّى بِنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى رَأَيْتُ أَثَرَ الطِّينِ وَالْمَاءِ عَلَى جَبْهَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَرْنَبَتِهِ تَصْدِيقَ رُؤْيَاهُ
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Ramadhan, dan kamipun beri’tikaf bersamanya.

Lalu Jibril datang dan berkata: “Sesungguhnya apa yang kamu minta ada di depanmu,”
Maka Beliau beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahannnya dan kami pun ikut beri’tikaf bersama Beliau.

Lalu Jibril datang lagi dan berkata:
“Sesungguhnya apa yang kamu minta ada di depanmu,”
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri berkhutbah pada pagi hari yang ke dua puluh di bulan Ramadhan dan bersabda:

“Barangsiapa yang i’tikaf bersama Nabi, pulanglah.
Karena sesungguhnya aku telah diperlihatkan Lailatul Qadr, namun aku dilupakan waktunya yang pasti.
Lailatul Qadr akan terjadi pada sepuluh hari terakhir yaitu pada malam ganjilnya.
Sungguh aku melihat dalam mimpi, bahwa aku sujud di atas tanah dan air. Pada masa itu atap masjid masih terbuat dari daun dan pelepah pohon kurma, dan kami tidak melihat sesuatu di atas langit hingga kemudian datang awan dan turunlah air hujan.
Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami hingga aku melihat sisa-sisa tanah dan air pada wajah dan kening Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bukti kebenaran mimpi beliau.(HR. Bukhari dan Muslim, ini lafadz Bukhari).
عَنْ عَبْدِ اللهِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ
Dari Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir dari bulan Ramadhan.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
عَنْ أَبى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانٍ عَشْرَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ ، اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Nabi,Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya selalu beri’tikaf 10 hari dalam bulan Ramadhan, sedangkan pada tahun kematiannya beliau beri’tikaf selama 20 hari.”
(Hr. Bukhari).

Dan pernah ketika pada suatu tahun beliau mengadakan perjalanan dalam bulan Ramadhan sehingga tidak sempat untuk beri’tikaf maka beliau menggantinya dengan beri’tikaf 20 hari pada tahun berikutnya.
عَنْ أبَي بن كعب أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، فَسَافَرَ سَنَةً ، فَلَمْ يَعْتَكِفْ ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ ، اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Ubay bin Ka’ab meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu beri’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan, pada suatu tahun beliau mengadakan perjalanan sehingga beliau tidak beri’tikaf, maka pada tahun depannya beliau beri’tikaf 20 hari.
(HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu Daud, al-Nasa`i, Ibnu Khuzaimah, al-Hakim dan al-Baihaqi).

Dan waktu memulai untuk i’tikaf pada sepuluh terakhir Ramadhan adalah ketika matahari terbenam pada malam ke-21 Ramadhan. L

Hal ini berdasarkan pendapat ulama, meskipun ada hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan bahwa beliau memasuki tempat i’tikafnya setelah sholat subuh, yaitu hadist:
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : ” كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ، ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ingin beri’tikaf maka beliau sholat subuh kemudian memasuki tempat i’tikafnya.
(HR. Bukhari dan Muslim , ini lafadz Muslim).

Imam Nawawi menjelaskan bahwa sebenarnya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah lebih dahulu beri’tikaf di masjid.
Hadits ‘Aisyah tersebut bukanlah menunjukkan Nabi memulai I’tikaf pada saat itu, namun Nabi sebenarnya telah beri’tikaf dan tinggal di masjid sebelum waktu Maghrib, tatkala beliau melaksanakan shalat Subuh pada hari setelahnya barulah beliau menyendiri di tempat i’tikaf yang khusus dibuatkan untuk beliau.

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat semacam kemah untuk tempat beliau beri’tikaf dan menyendiri dari segala keduniaan dan hanya bertaqarrub dan berinteraksi dengan Allah Ta’ala karena itulah tujuan sebenarnya dari i’tikaf.
sebagaimana diriwayatkan dalam hadits:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الخُدْرِيّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ عَلَى سُدَّتِهَا حَصِيرٌ
Dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘anhu ia berkata:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh  hari pertama bulan Ramadhan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian melakukan I’tikaf pada sepuluh hari pertengahan bulan Ramadhan, dalam sebuah tenda Turki dengan beralaskan selembar tikar.
(HR. Muslim)

Dan Beliau tidak pernah keluar dari masjid kecuali kalau ada keperluan yang mendesak seperti buang hajat, makan, minum, bersuci.
Sholat jumat dan kebutuhan mendesak lainnya yang tidak tersedia dan tidak bisa dilakukan di dalam masjid.
عَنْ عَا ئِشَةَ، قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ ، يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ ، فَأُرَجِّلُهُ ، وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ ، إِلَّا لِحَاجَةِ الإِنْسَانِ
Dari Aisyah, ia berkata:
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika sedang beri’tikaf beliau menyorongkan kepalanya kepadaku, lalu aku menyisir kepalanya.
Beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada kebutuhan sebagai manusia.”
(HR. Bukhari dan Muslim, ini lafadz Muslim)

Bahkan seorang yang sedang beri’tikaf tidak disunnahkan untuk menjenguk orang sakit atau menyaksikan jenazah agar ia bisa fokus beribadah dan bermunajat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan betul-betul putus dengan keduniaan yang merupakan tujuan dari i’tikafnya.
قالت عائشة : السُّنَّةُ عَلَى الْمُعْتَكِفِ أَنْ لا يَعُودَ مَرِيضًا ، وَلا يَشْهَدَ جَنَازَةً ، وَلا يَمَسَّ امْرَأَةً وَلا يُبَاشِرَهَا ، وَلا يَخْرُجَ لِحَاجَةٍ إِلا لِمَا لا بُدَّ مِنْهُ
Aisyah berkata:
“Disunnah bagi orang yang beri’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, menyaksikan jenazah, berhubungan suami istri serta tidak keluar kecuali untuk memenuhi kebutuan yang memang harus dipenuhi.
(HR. Abu Daud).

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul menggunakan kesempatan i’tikaf itu untuk fokus dan memperbanyak amal ibadahnya dengan segala bentuk ibadah dari berzikir, membaca al-Qur`an, sholat yang wajib maupun yang sunnah.
Beliau tidak menggunakan kesempatan menyendiri dengan Allah Subhanahu wa ta’ala untuk tidur, ngobrol atau melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Diriwayatkan:
قَالَتْ عَا ئِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا : كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ ، مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata:
“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.
(HR. Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا ، قَالَتْ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ ، شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha ia berkata:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bila memasuki sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan), maka beliau mengencangkan sarung, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya.”
(HR. Bukhari dan Muslim, ini lafadz Bukhari).

Hal itu merupakan gambaran akan kesungguh-sungguhan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperbanyak ibadah dan mengenyampingkan segala bentuk kesenangan duniawi yang bisa menganggu fokus dan kekhusyu’an beliau dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa’ ta’ala.

Wallahu a’lam bish shawab.
Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf? Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Unknown