Alkisah, ada seorang bangsawan Majapahit bernama Ki Ageng Supa Bungkul.
Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya.
Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia.
Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul.
Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata,"Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah".
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah.
Raden Paku bingung menghadapi hal itu.
Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
"Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik.
Aku yakin Dewi Wardah juga muslimah yang baik.
Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu", demikian kata Sunan Ampel.
"Tapi bukankah saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?", ujar Raden Paku.
"Tidak mengapa", kata Sunan Ampel.
"Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah". Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku.
Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau.
Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara. Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya.
Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren.
Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan.
Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam, beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah.
Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai.
Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali.
Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren.
Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren Giri.
Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.
Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara.
Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada.
Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan masyarakat dibicarakan adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri).
Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.
Demikian menurut De Graaf.
Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukkan iman ummatnya.
Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Di sekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi.
Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.
Ia mempunyai sebuah pohon delima yang aneh di depan pekarangan rumahnya.
Setiap kali ada orang hendak mengambil buah delima yang berbuah satu itu pasti mengalami nasib celaka. Kalau tidak ditimpa penyakit berat tentulah orang tersebut meninggal dunia.
Suatu ketika Raden Paku tanpa disengaja lewat di depan pekarangan Ki Ageng Bungkul.
Begitu dia berjalan di bawah pohon delima tiba-tiba buah pohon itu jatuh mengenai kepala Raden Paku.
Ki Ageng Bungkul tiba-tiba muncul mencegat Raden Paku, dan ia berkata,"Kau harus kawin dengan putriku, Dewi Wardah".
Memang, Ki Ageng Bungkul telah mengadakan sayembara, siapa saja yang dapat memetik buah delima itu dengan selamat maka ia akan dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Wardah.
Raden Paku bingung menghadapi hal itu.
Maka peristiwa itu disampaikan kepada Sunan Ampel.
"Tak usah bingung, Ki Ageng Bungkul itu seorang muslim yang baik.
Aku yakin Dewi Wardah juga muslimah yang baik.
Karena hal itu sudah menjadi niat Ki Ageng Bungkul kuharap kau tidak mengecewakan niat baiknya itu", demikian kata Sunan Ampel.
"Tapi bukankah saya hendak menikah dengan putri Kanjeng Sunan yaitu Dewi Murtasiah?", ujar Raden Paku.
"Tidak mengapa", kata Sunan Ampel.
"Sesudah melangsungkan akad nikah dengan Dewi Murtasiah selanjutnya kau akan melangsungkan perkawinanmu dengan Dewi Wardah". Itulah liku-liku perjalanan hidup Raden Paku.
Dalam sehari ia menikah dua kali. Menjadi menantu Sunan Ampel, kemudian menjadi menantu Ki Ageng Bungkul seorang bangsawan Majapahit yang hingga sekarang makamnya terawat baik di Surabaya.
Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berdagang dan berlayar antar pulau.
Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam pada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara. Lama-lama kegiatan dagang tersebut tidak memuaskan hatinya.
Ia ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren.
Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan.
Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan.
Andaikata hartanya yang banyak itu dimakan setiap hari dengan anak dan menantunya rasanya tiada akan habis, terlebih Juragan Abu Hurairah orang kepercayaan Nyai Ageng Pinatih menyatakan kesanggupannya untuk mengurus seluruh kegiatan perdagangan miliknya, maka wanita itu ikhlas melepaskan Raden Paku yang hendak mendirikan pesantren.
Mulailah Raden Paku bertafakkur di goa yang sunyi, 40 hari 40 malam, beliau tidak keluar goa, hanya bermunajat kepada Allah.
Tempat Raden Paku bertafakkur itu hingga sekarang masih ada yaitu desa Kembangan dan Kebomas.
Usai bertafakkur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai.
Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang dibawa dari negeri Pasai.
Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang hawanya sejuk, hatinya terasa damai, iapun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah di tempat itu. Ternyata cocok sekali.
Maka di desa Sidomukti itulah ia kemudian mendirikan pesantren.
Karena tempat itu adalah dataran tinggi atau gunung, maka dinamakan-lah Pesantren Giri.
Giri dalam bahasa Sansekerta artinya gunung.
Atas dukungan istri-istri dan ibunya juga dukungan spiritual dari Sunan Ampel, tidak begitu lama, hanya dalam waktu tiga tahun Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara.
Di muka telah disebutkan, bahwa hanya dalam tempo waktu tiga tahun Sunan Giri berhasil mengelola Pesantrennya hingga namanya terkenal ke seluruh Nusantara.
Menurut Dr. HJ. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya atau berguru ke negeri Pasai, ia memperkenalkan diri kepada dunia, kemudian berkedudukan di atas bukit di Gresik, dan ia menjadi orang pertama yang paling terkenal dari Sunan-sunan Giri yang ada.
Di atas gunung tersebut seharusnya ada istana karena di kalangan masyarakat dibicarakan adanya Giri Kedaton (kerajaan Giri).
Menurut Babad Tanah Jawa murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan lain-lain.
Demikian menurut De Graaf.
Semua itu adalah penggambaran nama Sunan Giri sebagai ulama besar yang sangat dihormati orang pada jamannya. Disamping pesantrennya yang besar ia juga membangun masjid sebagai pusat ibadah dan pembentukkan iman ummatnya.
Untuk para santri yang datang dari jauh beliau juga membangun asrama yang luas.
Di sekitar bukit tersebut sebenarnya dahulu jarang dihuni oleh penduduk dikarenakan sulitnya mendapatkan air. Tetapi dengan adanya Sunan Giri masalah air itu dapat diatasi.
Cara Sunan Giri membuat sumur atau sumber air itu sangat aneh dan gaib hanya beliau seorang yang mampu melakukannya.